Teori Negara Hukum
Penulis : Fajlurrahman Jurdi
Tebal : I–XII hingga 1-258
Peresensi : Andi Muh. Resky
(Mahasiswa Hukum Unhas
Angkatan 2016)
Sejarah
negara hukum sama tuanya dengan sejarah demokrasi. Namun, hampir seluruh studi
tentang Negara hukum dan demokrasi berhenti pada hulu zaman trio philosopher,
yakni Sokrates, Plato, dan Aristoteles. Ketiganya merupakan rujukan otoritas sejarah yang dipuja
dan selalu hidup meskipun zaman dan sejarah berganti.
Keinginan
Plato untuk menciptakan negara yang ideal tidak terlepas dari pemikirannya yang
menganggap bahwa negara yang ideal adalah hasil dari kepemimpinan pemimpin yang
cerdas. Karena itu, dalam Republic, Plato menjelaskan bahwasanya hukum
merupakan sebagian dari pengetahuan
seorang pemimpin, yaitu filsuf-raja.
Sementara
itu, Aristoteles memandang negara sebagai ciptaan alam karena manusia yang
hidup sendirian tidak dapat mencakupi dirinya sendiri, dan dengan demikian
harus dianggap sebagai suatu bagian dalam hubungan dengan keseluruhan.
Aristoteles menganggap monarki, aristokrasi, dan poitea sebgai bentuk
pemerintahan terbaik. Bentuk-bentuknya yang merosot adalah tirani,oligarki dan
demokrasi
Hukum diciptakan untuk menggatur ketertiban kebersamaan
yang ada. Disini hukum menjadi alat bantu social. Karena hukum adalah alat
bantu social, maka menekankan pada posisi hukum sebagai instrument negara
adalah merupakan upaya agar hukum sebagai instrumen memiliki kekuatan
legitimasi. Apabila kita merujuk konsep hukum masa kini, maka bangunan dasar
negara harus merespons realitas social, dan respons terhadap realitas social
agar teratur atau memiliki kateraturan adalah dengan menggunakan hukum untuk
mengikat mereka, keterikatan warga negara pada hukum merupakan upaya untuk
menemukan kembali esensi negara didirikan.
Dalam
catatan sejarah ketetenegaraan, konsep negara hukum merefleksikan beragam
varian dan dianut oleh sejumlah negara. Ada tipologi negara hukum nomokrasi
Islam, negara hukum konep Eropa Kontinental, tipologi hukum negara Anglo-Saxon,
tipologi hukum sosialis legality dan tipology negara hukum Pancasila. Meskipun banyak tipe negara hukum,
namun subtansinya menjalankan sistem pemerintahan sesuai dengan undang-undang.
Unsur-unsur negara hukum berakar pada
sejarah perkembangan suatu bangsa. Unsur-unsur tersebut adalah sebagai berikut:
1. Pengakuan, Penghormatan dan
Perlindungan HAM yang berakar dalam pengormatan dan martabat manusia
2. Asas kepastian hukum
a)
Asas
legalitas, konstittusionalitas, dan supremasi hukum
b)
Asas
UU menetapkan berbagai perangkat aturan ttg cara pemerintah dan para pejabatnya
melakukan tindakan pemerintahan
c)
Asas
nonretroaktif perundang-undangan
d)
Asas
peradilan bebas
e)
Asas
non liquet
f)
HAM
harus dirumuskan dan dijamin perlindungannya dalam UU (UUD)
3. Asas similia similubus (Asas
Persamaan)
4. Asas demokrasi
5. Pemerintah dan Pejabat Pemerintah
mengemban fungsi Pelayanan Masyarakat
Istilah
profetik pertama kali diperkenalkan oleh Kuntowijoyo. Beliau, memperkenalkan
apa yang disebut dengan Ilmu Sosal Profetik (ISP). Kata profetik sendiri
berarti kenabian. Negara hukum profetik bisa diartikan sebagai negara Islam
yang memiliki keterkaitan dengan setting historis masyarakat Madinah pada masa
Rasulullah SAW hidup. Tujuan ISP adalah membangun sebuah komunitas atau
masyarakat yang ideal atau utama mirip dengan “Negara Utama”-nya Al Farabi.
Wignjosoebroto
menegaskan bahwa “sesungguhnya, konsep ‘rechstaat’ atau ‘negara hukum’ ini
adalah konsep yang datang dan berasal dari luar wilayah peradaban pribumi.
Inilah konsep yang termukhtahirkan lewat revolusi kerakyatan yang terjadi
dikawasan peradaban Eropa Barat, khususnya Amerika dan Prancis. Konsep ini
merupakan paradigma baru bahwa negara dan alat kekuasaanya tak dibenaarkan
apabila bertindak atas dasar kekuasaanya belaka, alih-alih, haruslah ditumpukan
pada dasar kkebenaran hukum yang telah dipositifkan, ialah undang-undang, yang
pada gilirannya bertegak diatas
kebenaran “hukum” yang telah disepakati dan dibentuk bersama dalam wujud
undang-undang, khususnya yang paling dasar, ialah Undang Undang Dasar.
Keberadaan
system hukum Anglo Saxon yang disebut sebagai Common Law Sistem, adalah
merupakan salah satu perangkat terpenting dalam upaya mendorong pemerintahan
yang demokratis, sekaligus menghindari totalitarisme. Dengan konsep yang ada,
maka pemerintahan yang diharapkan adalah pemerintahan yang didasarkan pada
kepentingan rakyat.
Subtansi
socialist legality berbeda dengan konsep negara hukum rechsstaat maupun rule of
law. Dalam negara hukum socialist legality, hukum ditempatkan dibawah
sosialisme. Hukum adalah ala t untuk mencapai sosialisme. Hak perseorangan
dapat disalurkan kepada prinsip-prinsip sosialisme, meskipun hak tersebut patut
mendapat perlindungan. Socialist Law adalah nama resmi untuk sistem hukum
negara-negara komunis. Kata sosialis menandakan filosofi dan ideology
bedasarkan yang pada umumnya mengacu ke pemikiran “Marxist-Leninist”.
Pemikiran
Soepomo menurut banyak pihak memengaruhi perumusan UUD 1945, dengan apa yang
disebutnya sebagai ide negara ‘integralistik’ atau paham negara ‘kekeluargaan’.
Soepomo berpandangan bahwa prinsip persatuan antara pimpinan dan rakyat dan
prinsip persatuan dalam negara seluruhnya, cocok dengan pikir ketimuran.
Dikatakannya, hal itu tidak lain merupakan ciptaan kebudayaan Indonesia
sendiri. Soepomo menolak perspektif individualis Eropa Barat karena
menghasilkan imprealisme dan system eksploitasi, perspektif kelas pada
kediktatoran proletariat juga dibuang meskipun sesuai dengan kondisi khas di
Uni Soviet, perspektif ini bertentangan dengan sifat asli masyarakat Indonesia.
Para
pendiri negara telah memilih suatu paradigma bernegara yang tidak hanya mengacu
pada tradisi hukum barat, melainkan juga berakarar pada tradisi asli Bangsa
Indonesia. Paradigma bernegara itu dirumuskan dengan memadukan secara paripurna
lima prinsip bernegara, yakni Ketuhanan, kemanusiaan, kebangsaan, kerakyataan,
dan keadilan social. Kedalam suatu konsep Pancasila. Kelima prinsip Pancasila
itu mengandung nilai universal, tetapi juga memiliki basis partikularitas pada
tradisi Bangsa Indonesia. Dimensi universalitas dan partikularitas itu
menyebabkan adanya ketegangan konseptual dalam Pancaila yang menunjukkan bahwa
pendiri Negara Indonesia hendak mendirikan negara berciri modern, tetapi
berbasis pada tradisi Bangsa Indonesia. Demikan pula halnya, para pendiri
negara mengadopsi konsep negara hukum dari konsep Eropa Kontinental, tetapi
berupaya untuk member muatan subtantif yang berbasis pada tradisi Bangsa
Indonesia sehingga pada akhirnya dapat dihasilkan suatu konsep negara hukum
Indonesia.
Negara
hukum postmodern adalah merupakan negara hukum yang memilik kreatifitas
menempatkan warga negara bukan sebagai penjaga malam sebagaimana dalam aliran
hukum klasik. Warga negara tidak dianggap sebagai penghuni negara yang diatur
dengan pasal-pasal, tetapi hukum bekerja untuk memanipulasikesadaran individu
sehingga menjadi kesadaran kolektif. Bahwa keteraturan sosial dalam suatu
komunitas, tidak bisa diukur dengan pasal-pasal sebagai mana positivisme,
tetapi keteraturan social justru lahir ketika individu yang menjadi kolektif
mampu berposisi sebagai warga negara, bukan sebagai individu dan massa.
Istilah
negara hukum pascakolonial adalah untuk menemukan suatu kajian baru bagi negara
yang pernah mengalami penjajahan. Penjajah atau kolonialis meninggalkan tanah
jajahannya, tidak pergi begitu saja dan tanpa jejak. Dengan, demikian, studi
pasca colonial adalah upaya untuk melihat keterkaitan antara masa lalu dengan
masa kini. Cara-cara, ide, dan pengetahuan masa lalu yang hadir dan bersenggama
dengan masa kini, masa dimana kolonialisme sudah tidak ada dan menyeruak lagi,
namun sisa-sisa dari hantu kolonialisme itu masih hidup dalam pikiran bangsa
yang terjajah.
Niccolo
Machiavelli melihat negara berada dalam dua kutub, yakni kekuasaan dan anarki.
Anarki adalah tindakan melawan hukum atau aturan. Oleh karena itu, tugas
seorang pemegang kekuasaan adalah mempertahankan dan memperluas wilayah kekuasaannya.
Oleh sebab itu, seorang penguasa diperkenankan berbuat apa saja selama untuk
melanggengkan kekuasaannya. Menurut Machiavelli, politik dan moral adalah dua
bidang yang tidak memiliki hubungan sama sekali. Yang diperhitungkan hanyalah
kesuksesan, sehingga tidak ada perhatian pada moral didalam urusan politik.
Baginya hanya satu kaidah etika politik yang baik adalah apa saja yang
memperkuat kekuasaan raja.
Menurut Thomas Hobbes, individu menginginkan
terbenuknya sebuah negara atau lebih tepatnya sebuah pemerintahan adalah
disebabkan kebutuhan mereka akan perlindungan-protection. Mereka menginginkan
keselamatan diri dan keluarga mereka dari situasi yang tidak “tenang” karena
konflik dan “ pembunuhan” yang mematikan diantara mereka. Akibatnya, jika mereka
ingin selamat, maka yang harus dilakukan adalah menyerahkan seluruh hak mereka
kepada penguasa tersebut. Hobbes ingin mengingatkan bahwa negara dibentuk atas
kerelaan individu-individu untuk meletakkan seluruh hak mereka “tanpa sisa”.
Pandangan
John Locke tentang negara terdapat didalam bukunya yang berjudul “ Two Treaties
of Civil Government”. Ia menjelaskan pandangannya dengan menganalisis
tahap-tahap perkembangan masyarakat. Locke membagi perkembangan masyarakat
menjadi tiga yaitu, keadaan alamiah, keadaan perang, dan negara.
Menurut
Jean-Jacques Rousseau, dibawaah system absolutisme, masyarakat tidak akan
bebas, dan dalam demokrasi parlementer orang-orang hanya akan bebas di saat
pemilu, hanya sekali setiap empat atau lima tahun. Menurut Rousseau, tujuan
legislasi seharusnya bukan membatasi kebebasan individu, melainkan justru
memperbesar kebebasan itu. Karena itulah kedaulatan harus ada ditangan rakyat,
dan harus ada di tangan mereka selamanya.
Menurut
Robert Morison Maclver, negara “mengatur” hubungan-hubungan lahir yang penting
daripada manusia di dalam masyarakat. Negara menyokong dan mempergunakan hidup
kemasyarakatan, memberikan “pembatasan-pembatasan” atau
“keleluasaan-kelekuasaan” padanya, memenuhi kebutuhan atau sebaliknya, bahkan
menghancurkan hidup kemasyarakatan itu yang kekuasaan untuk “mengendalikan-nya”
dan “menguasainya” ada pada negara.
Hans
Kelsen mengatakan, “ hubungan antara hukum dan negara dipandang sama seperti
hubungan antara hukum dan individu. Hukum walaupun diciptakan oleh negara
dianggap mengatur perbuatan negara yang dipahami layaknya seorang manusia,
seperti halnya hukum mengatur perbuatan manusia”. Kelsen membagi tori negara
kedalam dua konsepsi, yakni negara sebagai organism dan negara sebagai
dominasi.
Jurgen
Habermas hanya ingin menegaskan bahwa tumpang tindih kepentingan dalam sebuah
komunitas social harus diatur oleh sebuah aturan perangkat normatif yang
menjadi landasan tatanan sosial, tatanan atau sebuah komunitas beradab akan
diatur oleh aturan normatif, yang tentu saja dalam konteks ini adalah negara.
Negara adalah merupakan komunitas yang membutuhkan keteraturan sosial, sehingga
perangkat untuk menegakkan keteraturan social itu adalah hukum. Disinilah hukum
negara berfungsi, sebagai aparatus normatif. Negara dibentuk untuk menegakkan
keteraturan sosial, sehingga tercipta masyarakat beradab.
Jimly
asshidiqie mengemukakan bahwa, “ada dua belas prinsip pokok negara hukum
(rechtsstaat) yang berlaku di zaman sekarang. Kedua belas prinsip pokok itu
merupakan pilar-pilar utama yang menyangga berdiri tegaknya suatu negara hukum
modern. Kedua belas pilar itu yakni supremasi hukum, persamaan dalam hukum,
asas legalitas, pembatasan kekuasaan, organ-organ eksekutif independen
peradilan bebas dan tidak memihak, peradilan tata usaha negara, peradilan tata
negara, perlindungan hak asasi manusia, bersifat demokratis, berfungsi sebagai
sarana mewujudkan tujuan bernegara, dan
transparansi dan control sosial.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar