Sabtu, 10 Juni 2017

HUKUM WARIS DALAM PERSPEKTIF ISLAM


KATA PENGANTAR

Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT, berkat Rahmat dan hidayah-Nya yang telah dilimpahkan kepada kita semua, demikian pula Shalawat serta Salam kepada junjungan Nabi Muhammad SAW, yang membawa umat manusia ke alam kemajuan ilmu pengetahuan.
Adapun tujuan dari penyusunan makalah ini adalah untuk mengerjakan tugas mata kuliah Bahasa Indonesia.
Dengan segala potensi dan kemampuan penulis miliki, namun tetap disadari, bahwa dalam tulisan ini masih banyak kekurangan-kekurangan dan kekhilafan, karena itu sangat diharapkan adanya masukan dari semua pihak untuk dikoreksi oleh semua pihak. Akhir kata, semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi para pembaca dan semua pihak.












DAFTAR ISI



 

BAB I

PENDAHULUAN


Proses perjalanan kehidupan manusia adalah lahir, hidup dan mati. Semua tahap itu membawa pengaruh dan akibat hukum terhadap lingkungannya, terutama dengan orang yang dekat dengannya.
Kelahiran membawa akibat timbulnya hak dan kewajiban bagi dirinya dan orang lain serta timbulnya hubungan hukum antara dia dengan orang tua, kerabat, dan masyarakat lingkungannya.
Demikian juga halnya dengan kematian seseorang membawa pengaruh dan akibat hukum kepada diri, keluarga, dan lingkungan sekitarnya. Selain itu, kematian tersebut menimbulkan kewajiban orang lain bagi yang meninggal yang berhubungan dengan pengurusan jenazahnya, dan timbul pula akibat hukum lain secara sendirinya, yaitu adanya hubungan ilmu hukum yang menyangkut hak para keluarganya terhadap harta yang ditinggalkan.
Adanya kematian seseorang mengakibatkan timbulnya cabang ilmu hukum terkait bagaimana cara penyelesaian harta peninggalan kepada keluarganya yang dikenal dengan nama hukum waris.


Berdasarkan latar belakang masalah diatas dapat ditarik beberapa rumusan masalah didalam pembuatan tugas makalah ini, dan di uraikan sebagai berikut:
1.    Apa yang dimaksud dengan hukum waris?
2.    Sebutkan dasar-dasar hukum waris Islam!
3.    Apa saja yang menjadi syarat-syarat pewarisan serta penggugur hak mewarisi?
4.    Siapa saja yang berhak menjadi ahli waris?

1.    Untuk mengetahui dan memaparkan hukum waris menurut pandangan Islam.
2.    Untuk mengetahui apa saja yang dijadikan landasan dalam menetapkan hukum waris Islam.
3.    Untuk mengetahui apa saja yang menjadi syarat-syarat dalam diberlakukannya hukum waris dan apa saja yang menjadi penggugur hak mewarisi.
4.    Untuk mengetahui siapa saja yang berhak menjadi ahi waris dan memperoleh warisan.


BAB II

PEMBAHASAN


Hukum waris dalam ajaran Islam disebut dengan istilah “Faraid”. Kata faraid adalah bentuk jamak dari faridah yang berasal dari kata fardu yang berarti ketetapan, pemberian (sedekah).
Fardu dalam Al-Qur’an mengandung beberapa pengertian yaitu ketetapan, kewajiban. Para ulama fiqih memberikan defnisi ilmu faraid sebagai berikut.
1.    Penentuan bagian bagi ahli waris
2.    Ketentuan bagian warisan yang ditetapkan oleh Syariat Islam
3.    Ilmu fiqih yang berkaitan dengan pembagian pusaka, serta mengetahui perhitungan dan kadar harta pusaka yang wajib dimiliki oleh orang yang berhak.
Menurut istilah hukum di Indonesia, ilmu faraid ini disebut dengan “Hukum Waris” (erfrecht) yaitu hukum yang mengatur tentang apayang harus terjadi dengan harta kekayaan seseorang yang meninggal dunia.
Dalam Komplikasi Hukum Islam dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan Hukum Kewarisan adalah hukum yang mengatur pemindahan hak pemilikan harta peninggalan (tirkah) pewaris, menentukan siapa yang berhak menjadi ahli waris dan beberapa bagiannya masing-masing (Pasal 171 Ayat a KHI).

Pembagian warisan dalam agama Islam merupakan suatu kemestian (infaq ijbary). Penetapan dan pembagian warisan yang telah tercantum dalam Al-Qur’an tidak boleh ditolak oleh ahli waris yang berhak menerimanya, sebelum dilakukan pembagian waris.
Setelah dilakukan pembagian harta warisan menurut Al-Qur’an/al-Hadis, dan ahli waris mengetahui dengan jelas bagian warisan masing-masing, barulah ia berhak untuk mengibahkannya kepada orang lain. Para ahli waris dapat bersepakat melakukan perdamaian dalam pembagian harta warisan, setelah masing-masing menyadari bagiannya (Pasal 183 KHI).
Ilmu Faraid mengatur pembagian harta yang ditinggalkan oleh orang yang meninggal dunia, merupakan manifestasi pengakuan Islam terhadap adanya hak milik perorangan. Hak milik perorangan akan berakhir saat seseorang meninggal dunia, dan berpinda kepada ahli waris.

Dasar hukum waris Islam terbagi antara 2, yakni Al-Qur’an dan As-Sunnah.[1]
1.    Ayat-ayat Al-Qur’an
Ayat-ayat yang berkaitan dengan masalah kewarisan, baik secara langsung maupun tidak langsung di dalam Al-Quran dapat ditemui dalam beberapa surah dan ayat, yaitu sebagai berikut.
a.    Menyangkut tanggungjawab orang tua dan anak yang ditemui dalam Q.S Al-Baqarah (2) ayat 233.
b.    Menyangkut harta pusaka dan pewarisnya ditemui dalam Q.S An-Nisa (4) ayat 33, Q.S Al-Anfal (8) ayat 75, dan Q.Sal-Azhab (33) ayat 6.
c.    Menyangkut aturan pembagian harta  warisan, ditemui dalam Q.S An-Nisa (4) ayat 7-14, 34, dan 176.
d.    Ayat-ayat yang memberikan penjelasan tambahan mengenai kewarisan (berisi pengertian pembantu), yakni :
1)    Yang berkaitan dengan Dzul Arham (yang mempunyai  hubungan/pertalian darah) ditemui dalam Q.S An-Nisa (4) ayat 1
2)    Yang berkaitan dengan Ulul Qurba Harus diberi rezeki/bagian dari harta peninggalan ditemui dalam Q.S An-Nisa (4) ayat 8.
3)    Tentang keewajiban bagi seseorang yang hendak meninggal dunia untuk berwasiat ditemui dalam Q.S Al-Baqarah (2) ayat 180.
4)    Tentang tanggung jawab ahli waris ditemui dalam dalam Q.S Al-Baqarah (2) ayat 233.
5)    Tentang kewajiban berwasiat untuk istri ditemui dalam Q.S Al-Baqarah (2) ayat 240.
6)    Tentang ulul arham yang lebih dekat ditemui ketentuanya dalam Q.S Al-Anfal (8) ayat 75.
7)    Tentang anak angkat ditemukan dalam Q.S Al-Ahzab (33) ayat 4 dan ayat 5.
2.    Hadis-hadis yang berkaitan dengan masalah kewarisan
Hadis-hadis yang diutarakan dalam pembahasan ini hanyalah sebagian hadis yang mampu dihimpun oleh penulis dan berkaitan langsung dengan persoalan kewarisan.
Untuk lebih memudahkan penelusuran maka hadis-hadis yang bertalian dengan persoalan kewarisan ini dapat diklasifikasikan sebagai berikut.
a.    Tentang cara untuk mengadakan pembagian warisan terdapat dalam hadis yang disepakati Imam Al-Bukhari dan Imam Muslim.
b.    Orang yng berbeda agama tidak saling waris-mewaris yang disepakati Al-Bukhari dan Imam Muslim.
c.Bagi anak perempuan, cucu perempuan, dan saudara perempuan yang pembagiannya ditemukan dalam hadis dari Ibnu Mas’ud ra., yang diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari.
d.    Bagian kakek dari harta warisan cucunya yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan imam yang empat, Imam At-Tirmidzi menyatakan shahih. Dan hadis ini dari riwayat Imam Hasan Al-Basri dari Imran putra Hushain, tetapi dalam hal mendengarnya dari Rasulullah terdapat perselisihan.
e.    Bagian nenek dari cucu yang tidak punya ibu yang diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud dan An-Nasa’i. Ibnu Huzaimah dan Ibnu Jarud menyatakan “shahih-nya”, dan Ibnu Adi memperkuat ke-shahih-annya.
f.    Paman menjadi ahli waris keponakannya yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan imam empat, kecuali At-Tirdmizi. Imam Abu Zur’ah Ar Razi meng-hasan-kannya, dan Al-Hakim serta Ibnu Hibban menyatakan shahih-nya.
g.    Bayi sama haknya dengan orang dewasa yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Ibnu Hibban menyatakan shahih-nya.
h.    Tentang asabah, yang dapat ditemukan dalam beberapa hadis, yang salah satunya diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim.

1.    Syarat-syarat pewarisan
Dalam Syariat Islam, ada tiga syarat supaya pewarisan dinyatakan ada, sehingga dapat memberi hak kepada seseorang atau ahli waris untuk menerima warisan, yaitu :
a.    Orang yang mewariskan (muwarris) benar telah dinyatakan meninggal dunia dan dapat dibuktikan secara hukum bahwa ia telah meninggal dunia. Ini berarti bahwa apabila tidak ada kematian, maka tidak ada pewarisan. Pemberian atau pembagian harta kepada keluarga semasa hidupnya, tidak termasuk kedalam kategori mewarisi, tetapi pemberian atau pembagian yang disebut dengan Hibah.
b.    Orang yang mewarisi (ahli waris atau waris) hidup pada saat orang yang mewariskan meninggal dunia dan bisa dibuktikan secara hukum. Termasuk dalam pengertian hidup disini adalah:
1)    Anak (embrio) yang hidup dalam kandungan ibunya pada saat orang yang mewariskan meninggal dunia
2)    Orang yang menghilang dan tidak diketahui tentang kematiannya, dalam hal ini perlu adanya keputusan hakim yang mengatakan bahwa ia masih hidup. Apabila dalam waktu yang telah ditentukan ia tidak juga kembali, maka bagian warisannya dibagikan kembali kepada ahli waris.
c.    Ada hubungan pewarisan antara orang yang mewariskan dengan orang yang mewarisi, yaitu
1)    Adanya hubungan nasab (keturunan/kekerabatan).
2)    Adanya hubungan pernikahan.
3)    Adanya hubungan perbudakan (wala).
4)    Karena hubungan agama Islam.
2.    Penggugur Hak Mewarisi
Penggugur hak waris seseorng maksudnya kondisi yang menyebabkan hak waris seseorang menjadi gugur, dalam hal ini ada tiga:
a.    Pembunuhan
Apabila seseorang ahli waris membunuh pewaris, maka ia tidak berhak menerima warisan. Hal ini didasarkan sabda Rasulullah saw. ”Tidaklah seorang pembunuh berhak mewarisi harta orang yang dibunuhnya.” (HR.Darimi No.2951).
b.    Perbedaan Agama
Seorang muslim tidak dapat mewarisi atau diwarisi oleh orang non muslim, apa pun agamanya. Hal ini telah ditegaskan Rasulullah saw. “Tidaklah berhak seorang muslim mewarisi orang kafir, dan tidak pula orang kafir mewarisi muslim.” (HR Bukhari dan Mualim).
c.    Budak
Seseorang yang berstatus sebagai budak tidak mempunyai hak untuk mewarisi sekalipun dari saudaranya. Sebab segala sesuatu yang dimiliki budak, secara langsung menjadi milik tuannya. Baik itu sabagai qinnun, mudabbar, atau mukatab.

Ahli waris yang berhak mendapat warisan menurut agama Islam adalah orang yang mempunyai hubungan pewarisan dengan orang yang mewariskan. Secara umum, ahli waris dapat dikelompokkan kepada dua kelompok yaitu ahli waris nasabiyah dan ahli waris sababiyah.[2]
1.    Ahli waris nasabiyah ialah orang-orang yang berhak memperoleh harta warisan karena ada hubungan nasab. Ahli waris nasabiyahini dapat dibedakan kepada tiga jenis, yakni:
a.  Furu’ al-Mayyit yaitu hubungan nasab menurut garis lurus keturunan kebawah. Yang termasuk dalam jenis ini adalah:
1)    Anak laki-laki.
2)    Anak perempuan.
3)    Anak dari anak laki-laki (cucu laki-laki atau cucu perempuan) dan seterusnya kebawah keturunan laki-laki.
b.  Usul al-Mayit ialah ahli waris yang merupakan asal keturunan dari orang yang mewariskan, atau hubungan nasab garis keturunan keatas. Mereka ini ialah:
1)   Ayah.
2)    Ibu.
3)    Ayah dari ayah (kakek) dan seterusnya keatas.
4)    Ibu dari ayah atau ibu dari ibu (nenek dari pihak ayah atau nenek dari pihak ibu).
c.Al-Hawasyi ialah hubungan nasab dari arah menyamping, dan mereka terdiri dari:
1)    Saudara laki-laki sekandung.
2)    Saudara perempuan sekandung.
3)    Saudara laki-laki seayah.
4)    Saudara perempuan seayah.
5)    Saudara laki-laki seayah.
6)    Saudara perempuan seibu.
7)    Anak laki-laki dari saudara laki-laki sekandung dan seterusnya kebawah dari keturunan laki-laki.
8)    Anak laki-laki dari saudara laki-laki seayah, dan seterusnya kebawah dari turunan laki-laki.
9)    Saudara laki-laki sekandung dari ayah (paman seayah) dan seterusnya keatas.
10) Saudara laki-laki seayah dari ayah (paman seayah) dan seterusnya keatas.
11) Anak laki-laki dari paman sekandung dan seterusnya kebawah.
12) Anak laki-laki dari paman seayah dan seterusnya kebawah.

BAB III

PENUTUP


Adapun yang menjadi kesimpulan dari pembahasan tersebut adalah:
1.    Ilmu faraid adalah ilmu yang mempelajari segala sesuatu yang berkenaan dengan harta peninggalan orang yang meninggal.
2.    Sebab-sebab mendapatkan warisan adalah karena adanya hubungan keluarga, hubungan pernikahan, dan hubungan wala’ (hubungan kekerabatan karena sebab hukum). Sedangkan ahli waris dapat gugur mendapatkan warisan karena hamba sahaya (budak), membunuh orang yang dapat memberikan warisan padanya, dan berlainan agama.
3.    Dalam Al-Qur’an bagian-bagian warisan sudah ditentukan dalam Al-Qur’an surah An-Nisa ayat 7, 11, 12, dan 176.
1.    Diharapkan pembaca dapat mengetahui pengertian, dasar hukum, syarat, serta jenis-jenis ahli waris.
2.    Diharapkan pembaca dapat mengetahui sebab dan tidaknya ahli waris menerima harta warisan.
3.    Diharapkan pembaca dapat mengaplikasika ilmu mawaris dalam kehidupan pribadi maupun masyarakat.

DAFTAR PUSTAKA



Asshabuni, Muhammad Ali. 2015. Hukum Waris Dalam Islam. 

Pepustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan.


Lubis, Suhrawadi K, dan Komis Simajuntak. 2008. Hukum Waris Islam

(Lengkap & Praktis). Jakarta: Sinar Grafika.


Nasution, Amin Husein. 2012. Hukum Kewarisan Suatu Analisis

Komparatif Pemikiran Mujtahid dan Kompilasi Hukum Islam.

Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.




[1] Suhrawardi K. Lubis, Komis Simanjuntak. Hukum Waris Islam (Lengkap & Praktis). Sinar Grafika. Jakarta. 2008. hlm 20.
[2] Amin Husein Nasution. Hukum kewarisan Suatu Analisis  Komparatif Pemikiran Mujtahid dan Kompilasi Hukum Islam. PT Raja Grafindo Persada. 2012. hlm 99.