KATA PENGANTAR
![](file:///C:/Users/computer/AppData/Local/Temp/msohtmlclip1/01/clip_image001.gif)
Adapun tujuan dari penyusunan makalah
ini adalah untuk mengerjakan tugas mata kuliah Bahasa Indonesia.
Dengan segala potensi dan kemampuan
penulis miliki, namun tetap disadari, bahwa dalam tulisan ini masih banyak
kekurangan-kekurangan dan kekhilafan, karena itu sangat diharapkan adanya
masukan dari semua pihak untuk dikoreksi oleh semua pihak. Akhir kata, semoga
makalah ini dapat bermanfaat bagi para pembaca dan semua pihak.
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN
Proses perjalanan kehidupan
manusia adalah lahir, hidup dan mati. Semua tahap itu membawa pengaruh dan
akibat hukum terhadap lingkungannya, terutama dengan orang yang dekat
dengannya.
Kelahiran membawa akibat
timbulnya hak dan kewajiban bagi dirinya dan orang lain serta timbulnya
hubungan hukum antara dia dengan orang tua, kerabat, dan masyarakat
lingkungannya.
Demikian juga halnya dengan
kematian seseorang membawa pengaruh dan akibat hukum kepada diri, keluarga, dan
lingkungan sekitarnya. Selain itu, kematian tersebut menimbulkan kewajiban
orang lain bagi yang meninggal yang berhubungan dengan pengurusan jenazahnya,
dan timbul pula akibat hukum lain secara sendirinya, yaitu adanya hubungan ilmu
hukum yang menyangkut hak para keluarganya terhadap harta yang ditinggalkan.
Adanya kematian seseorang
mengakibatkan timbulnya cabang ilmu hukum terkait bagaimana cara penyelesaian
harta peninggalan kepada keluarganya yang dikenal dengan nama hukum waris.
Berdasarkan latar belakang
masalah diatas dapat ditarik beberapa rumusan masalah didalam pembuatan tugas
makalah ini, dan di uraikan sebagai berikut:
1. Apa yang
dimaksud dengan hukum waris?
2. Sebutkan
dasar-dasar hukum waris Islam!
3. Apa saja yang
menjadi syarat-syarat pewarisan serta penggugur hak mewarisi?
4. Siapa saja
yang berhak menjadi ahli waris?
1. Untuk
mengetahui dan memaparkan hukum waris menurut pandangan Islam.
2. Untuk
mengetahui apa saja yang dijadikan landasan dalam menetapkan hukum waris Islam.
3. Untuk
mengetahui apa saja yang menjadi syarat-syarat dalam diberlakukannya hukum
waris dan apa saja yang menjadi penggugur hak mewarisi.
4. Untuk
mengetahui siapa saja yang berhak menjadi ahi waris dan memperoleh warisan.
BAB II
PEMBAHASAN
Hukum waris dalam ajaran Islam disebut
dengan istilah “Faraid”. Kata faraid adalah bentuk jamak dari faridah yang
berasal dari kata fardu yang berarti ketetapan, pemberian (sedekah).
Fardu dalam Al-Qur’an mengandung
beberapa pengertian yaitu ketetapan, kewajiban. Para ulama fiqih memberikan
defnisi ilmu faraid sebagai berikut.
1.
Penentuan
bagian bagi ahli waris
2.
Ketentuan
bagian warisan yang ditetapkan oleh Syariat Islam
3.
Ilmu
fiqih yang berkaitan dengan pembagian pusaka, serta mengetahui perhitungan dan
kadar harta pusaka yang wajib dimiliki oleh orang yang berhak.
Menurut
istilah hukum di Indonesia, ilmu faraid ini disebut dengan “Hukum Waris”
(erfrecht) yaitu hukum yang mengatur tentang apayang harus terjadi dengan harta
kekayaan seseorang yang meninggal dunia.
Dalam
Komplikasi Hukum Islam dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan Hukum Kewarisan
adalah hukum yang mengatur pemindahan hak pemilikan harta peninggalan (tirkah)
pewaris, menentukan siapa yang berhak menjadi ahli waris dan beberapa bagiannya
masing-masing (Pasal 171 Ayat a KHI).
Pembagian
warisan dalam agama Islam merupakan suatu kemestian (infaq ijbary). Penetapan
dan pembagian warisan yang telah tercantum dalam Al-Qur’an tidak boleh ditolak
oleh ahli waris yang berhak menerimanya, sebelum dilakukan pembagian waris.
Setelah
dilakukan pembagian harta warisan menurut Al-Qur’an/al-Hadis, dan ahli waris
mengetahui dengan jelas bagian warisan masing-masing, barulah ia berhak untuk
mengibahkannya kepada orang lain. Para ahli waris dapat bersepakat melakukan
perdamaian dalam pembagian harta warisan, setelah masing-masing menyadari
bagiannya (Pasal 183 KHI).
Ilmu
Faraid mengatur pembagian harta yang ditinggalkan oleh orang yang meninggal
dunia, merupakan manifestasi pengakuan Islam terhadap adanya hak milik
perorangan. Hak milik perorangan akan berakhir saat seseorang meninggal dunia,
dan berpinda kepada ahli waris.
Dasar hukum waris Islam terbagi antara
2, yakni Al-Qur’an dan As-Sunnah.[1]
1.
Ayat-ayat
Al-Qur’an
Ayat-ayat yang berkaitan dengan
masalah kewarisan, baik secara langsung maupun tidak langsung di dalam Al-Quran
dapat ditemui dalam beberapa surah dan ayat, yaitu sebagai berikut.
a.
Menyangkut
tanggungjawab orang tua dan anak yang ditemui dalam Q.S Al-Baqarah (2) ayat
233.
b.
Menyangkut
harta pusaka dan pewarisnya ditemui dalam Q.S An-Nisa (4) ayat 33, Q.S Al-Anfal
(8) ayat 75, dan Q.Sal-Azhab (33) ayat 6.
c.
Menyangkut
aturan pembagian harta warisan, ditemui
dalam Q.S An-Nisa (4) ayat 7-14, 34, dan 176.
d.
Ayat-ayat
yang memberikan penjelasan tambahan mengenai kewarisan (berisi pengertian
pembantu), yakni :
1)
Yang
berkaitan dengan Dzul Arham (yang mempunyai
hubungan/pertalian darah) ditemui dalam Q.S An-Nisa (4) ayat 1
2)
Yang
berkaitan dengan Ulul Qurba Harus diberi rezeki/bagian dari harta peninggalan
ditemui dalam Q.S An-Nisa (4) ayat 8.
3)
Tentang
keewajiban bagi seseorang yang hendak meninggal dunia untuk berwasiat ditemui
dalam Q.S Al-Baqarah (2) ayat 180.
4)
Tentang
tanggung jawab ahli waris ditemui dalam dalam Q.S Al-Baqarah (2) ayat 233.
5)
Tentang
kewajiban berwasiat untuk istri ditemui dalam Q.S Al-Baqarah (2) ayat 240.
6)
Tentang
ulul arham yang lebih dekat ditemui ketentuanya dalam Q.S Al-Anfal (8) ayat 75.
7)
Tentang
anak angkat ditemukan dalam Q.S Al-Ahzab (33) ayat 4 dan ayat 5.
2.
Hadis-hadis
yang berkaitan dengan masalah kewarisan
Hadis-hadis yang diutarakan dalam
pembahasan ini hanyalah sebagian hadis yang mampu dihimpun oleh penulis dan
berkaitan langsung dengan persoalan kewarisan.
Untuk lebih memudahkan penelusuran
maka hadis-hadis yang bertalian dengan persoalan kewarisan ini dapat diklasifikasikan
sebagai berikut.
a.
Tentang
cara untuk mengadakan pembagian warisan terdapat dalam hadis yang disepakati
Imam Al-Bukhari dan Imam Muslim.
b.
Orang
yng berbeda agama tidak saling waris-mewaris yang disepakati Al-Bukhari dan
Imam Muslim.
c.Bagi anak perempuan, cucu perempuan, dan saudara
perempuan yang pembagiannya ditemukan dalam hadis dari Ibnu Mas’ud ra., yang
diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari.
d.
Bagian
kakek dari harta warisan cucunya yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan imam
yang empat, Imam At-Tirmidzi menyatakan shahih. Dan hadis ini dari riwayat Imam
Hasan Al-Basri dari Imran putra Hushain, tetapi dalam hal mendengarnya dari
Rasulullah terdapat perselisihan.
e.
Bagian
nenek dari cucu yang tidak punya ibu yang diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud dan
An-Nasa’i. Ibnu Huzaimah dan Ibnu Jarud menyatakan “shahih-nya”, dan Ibnu Adi
memperkuat ke-shahih-annya.
f. Paman menjadi ahli waris keponakannya yang
diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan imam empat, kecuali At-Tirdmizi. Imam Abu
Zur’ah Ar Razi meng-hasan-kannya, dan Al-Hakim serta Ibnu Hibban menyatakan
shahih-nya.
g.
Bayi
sama haknya dengan orang dewasa yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Ibnu
Hibban menyatakan shahih-nya.
h.
Tentang
asabah, yang dapat ditemukan dalam beberapa hadis, yang salah satunya
diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim.
1.
Syarat-syarat
pewarisan
Dalam Syariat Islam, ada tiga syarat
supaya pewarisan dinyatakan ada, sehingga dapat memberi hak kepada seseorang
atau ahli waris untuk menerima warisan, yaitu :
a.
Orang
yang mewariskan (muwarris) benar telah dinyatakan meninggal dunia dan dapat
dibuktikan secara hukum bahwa ia telah meninggal dunia. Ini berarti bahwa
apabila tidak ada kematian, maka tidak ada pewarisan. Pemberian atau pembagian
harta kepada keluarga semasa hidupnya, tidak termasuk kedalam kategori
mewarisi, tetapi pemberian atau pembagian yang disebut dengan Hibah.
b.
Orang
yang mewarisi (ahli waris atau waris) hidup pada saat orang yang mewariskan
meninggal dunia dan bisa dibuktikan secara hukum. Termasuk dalam pengertian
hidup disini adalah:
1) Anak (embrio) yang hidup dalam
kandungan ibunya pada saat orang yang mewariskan meninggal dunia
2)
Orang
yang menghilang dan tidak diketahui tentang kematiannya, dalam hal ini perlu
adanya keputusan hakim yang mengatakan bahwa ia masih hidup. Apabila dalam
waktu yang telah ditentukan ia tidak juga kembali, maka bagian warisannya
dibagikan kembali kepada ahli waris.
c.
Ada
hubungan pewarisan antara orang yang mewariskan dengan orang yang mewarisi,
yaitu
1)
Adanya
hubungan nasab (keturunan/kekerabatan).
2)
Adanya
hubungan pernikahan.
3)
Adanya
hubungan perbudakan (wala).
4)
Karena
hubungan agama Islam.
2.
Penggugur
Hak Mewarisi
Penggugur hak waris seseorng maksudnya
kondisi yang menyebabkan hak waris seseorang menjadi gugur, dalam hal ini ada
tiga:
a.
Pembunuhan
Apabila seseorang ahli waris membunuh
pewaris, maka ia tidak berhak menerima warisan. Hal ini didasarkan sabda
Rasulullah saw. ”Tidaklah seorang pembunuh berhak mewarisi harta orang yang
dibunuhnya.” (HR.Darimi No.2951).
b.
Perbedaan
Agama
Seorang muslim tidak dapat mewarisi
atau diwarisi oleh orang non muslim, apa pun agamanya. Hal ini telah ditegaskan
Rasulullah saw. “Tidaklah berhak seorang muslim mewarisi orang kafir, dan tidak
pula orang kafir mewarisi muslim.” (HR Bukhari dan Mualim).
c.
Budak
Seseorang yang berstatus sebagai budak
tidak mempunyai hak untuk mewarisi sekalipun dari saudaranya. Sebab segala
sesuatu yang dimiliki budak, secara langsung menjadi milik tuannya. Baik itu
sabagai qinnun, mudabbar, atau mukatab.
Ahli waris yang berhak mendapat
warisan menurut agama Islam adalah orang yang mempunyai hubungan pewarisan
dengan orang yang mewariskan. Secara umum, ahli waris dapat dikelompokkan
kepada dua kelompok yaitu ahli waris nasabiyah dan ahli waris sababiyah.[2]
1.
Ahli
waris nasabiyah ialah orang-orang yang berhak memperoleh harta warisan karena
ada hubungan nasab. Ahli waris nasabiyahini dapat dibedakan kepada tiga jenis,
yakni:
a. Furu’ al-Mayyit yaitu hubungan nasab
menurut garis lurus keturunan kebawah. Yang termasuk dalam jenis ini adalah:
1) Anak laki-laki.
2) Anak perempuan.
3) Anak dari anak laki-laki (cucu
laki-laki atau cucu perempuan) dan seterusnya kebawah keturunan laki-laki.
b. Usul al-Mayit ialah ahli waris yang
merupakan asal keturunan dari orang yang mewariskan, atau hubungan nasab garis
keturunan keatas. Mereka ini ialah:
1) Ayah.
2) Ibu.
3) Ayah dari ayah (kakek) dan seterusnya
keatas.
4) Ibu dari ayah atau ibu dari ibu (nenek
dari pihak ayah atau nenek dari pihak ibu).
c.Al-Hawasyi ialah hubungan nasab dari arah menyamping, dan
mereka terdiri dari:
1) Saudara laki-laki sekandung.
2) Saudara perempuan sekandung.
3) Saudara laki-laki seayah.
4) Saudara perempuan seayah.
5) Saudara laki-laki seayah.
6) Saudara perempuan seibu.
7) Anak laki-laki dari saudara laki-laki
sekandung dan seterusnya kebawah dari keturunan laki-laki.
8) Anak laki-laki dari saudara laki-laki
seayah, dan seterusnya kebawah dari turunan laki-laki.
9) Saudara laki-laki sekandung dari ayah
(paman seayah) dan seterusnya keatas.
10) Saudara laki-laki seayah dari ayah
(paman seayah) dan seterusnya keatas.
11) Anak laki-laki dari paman sekandung
dan seterusnya kebawah.
12) Anak laki-laki dari paman seayah dan
seterusnya kebawah.
BAB III
PENUTUP
Adapun yang menjadi kesimpulan dari pembahasan tersebut
adalah:
1.
Ilmu
faraid adalah ilmu yang mempelajari segala sesuatu yang berkenaan dengan harta
peninggalan orang yang meninggal.
2.
Sebab-sebab
mendapatkan warisan adalah karena adanya hubungan keluarga, hubungan
pernikahan, dan hubungan wala’ (hubungan kekerabatan karena sebab hukum).
Sedangkan ahli waris dapat gugur mendapatkan warisan karena hamba sahaya
(budak), membunuh orang yang dapat memberikan warisan padanya, dan berlainan
agama.
3.
Dalam
Al-Qur’an bagian-bagian warisan sudah ditentukan dalam Al-Qur’an surah An-Nisa
ayat 7, 11, 12, dan 176.
1.
Diharapkan
pembaca dapat mengetahui pengertian, dasar hukum, syarat, serta jenis-jenis
ahli waris.
2.
Diharapkan
pembaca dapat mengetahui sebab dan tidaknya ahli waris menerima harta warisan.
3.
Diharapkan
pembaca dapat mengaplikasika ilmu mawaris dalam kehidupan pribadi maupun
masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
Asshabuni,
Muhammad Ali. 2015. Hukum Waris Dalam
Islam.
Pepustakaan Nasional: Katalog Dalam
Terbitan.
Lubis,
Suhrawadi K, dan Komis Simajuntak. 2008. Hukum
Waris Islam
(Lengkap
& Praktis).
Jakarta: Sinar Grafika.
Nasution,
Amin Husein. 2012. Hukum Kewarisan Suatu
Analisis
Komparatif
Pemikiran Mujtahid dan Kompilasi Hukum Islam.
Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.