Rabu, 30 November 2016

Resensi Buku




Teori Negara Hukum                                                 

Judul Buku  :  Teori Negara Hukum
Penulis        :  Fajlurrahman Jurdi
Penerbit      :  Setara Press, 2016
Tebal           :  I–XII hingga 1-258
Peresensi    :  Andi Muh. Resky
                     (Mahasiswa Hukum Unhas
                      Angkatan 2016)





Sejarah negara hukum sama tuanya dengan sejarah demokrasi. Namun, hampir seluruh studi tentang Negara hukum dan demokrasi berhenti pada hulu zaman trio philosopher, yakni Sokrates, Plato, dan Aristoteles. Ketiganya  merupakan rujukan otoritas sejarah yang dipuja dan selalu hidup meskipun zaman dan sejarah berganti.
Keinginan Plato untuk menciptakan negara yang ideal tidak terlepas dari pemikirannya yang menganggap bahwa negara yang ideal adalah hasil dari kepemimpinan pemimpin yang cerdas. Karena itu, dalam Republic, Plato menjelaskan bahwasanya hukum merupakan sebagian dari  pengetahuan seorang pemimpin, yaitu filsuf-raja.
Sementara itu, Aristoteles memandang negara sebagai ciptaan alam karena manusia yang hidup sendirian tidak dapat mencakupi dirinya sendiri, dan dengan demikian harus dianggap sebagai suatu bagian dalam hubungan dengan keseluruhan. Aristoteles menganggap monarki, aristokrasi, dan poitea sebgai bentuk pemerintahan terbaik. Bentuk-bentuknya yang merosot adalah tirani,oligarki dan demokrasi
Hukum diciptakan untuk menggatur ketertiban kebersamaan yang ada. Disini hukum menjadi alat bantu social. Karena hukum adalah alat bantu social, maka menekankan pada posisi hukum sebagai instrument negara adalah merupakan upaya agar hukum sebagai instrumen memiliki kekuatan legitimasi. Apabila kita merujuk konsep hukum masa kini, maka bangunan dasar negara harus merespons realitas social, dan respons terhadap realitas social agar teratur atau memiliki kateraturan adalah dengan menggunakan hukum untuk mengikat mereka, keterikatan warga negara pada hukum merupakan upaya untuk menemukan kembali esensi negara didirikan.
Dalam catatan sejarah ketetenegaraan, konsep negara hukum merefleksikan beragam varian dan dianut oleh sejumlah negara. Ada tipologi negara hukum nomokrasi Islam, negara hukum konep Eropa Kontinental, tipologi hukum negara Anglo-Saxon, tipologi hukum sosialis legality dan tipology negara hukum  Pancasila. Meskipun banyak tipe negara hukum, namun subtansinya menjalankan sistem pemerintahan sesuai dengan undang-undang.
Unsur-unsur negara hukum berakar pada sejarah perkembangan suatu bangsa. Unsur-unsur tersebut adalah sebagai berikut:
     1.    Pengakuan, Penghormatan dan Perlindungan HAM yang berakar dalam pengormatan          dan martabat manusia
     2.    Asas kepastian hukum
a)    Asas legalitas, konstittusionalitas, dan supremasi hukum
b)    Asas UU menetapkan berbagai perangkat aturan ttg cara pemerintah dan para pejabatnya melakukan tindakan pemerintahan
c)    Asas nonretroaktif perundang-undangan
d)    Asas peradilan bebas
e)    Asas non liquet
f)     HAM harus dirumuskan dan dijamin perlindungannya dalam UU (UUD)
     3.    Asas similia similubus (Asas Persamaan)
     4.    Asas demokrasi
     5.    Pemerintah dan Pejabat Pemerintah mengemban fungsi Pelayanan Masyarakat
Istilah profetik pertama kali diperkenalkan oleh Kuntowijoyo. Beliau, memperkenalkan apa yang disebut dengan Ilmu Sosal Profetik (ISP). Kata profetik sendiri berarti kenabian. Negara hukum profetik bisa diartikan sebagai negara Islam yang memiliki keterkaitan dengan setting historis masyarakat Madinah pada masa Rasulullah SAW hidup. Tujuan ISP adalah membangun sebuah komunitas atau masyarakat yang ideal atau utama mirip dengan “Negara Utama”-nya Al Farabi.
Wignjosoebroto menegaskan bahwa “sesungguhnya, konsep ‘rechstaat’ atau ‘negara hukum’ ini adalah konsep yang datang dan berasal dari luar wilayah peradaban pribumi. Inilah konsep yang termukhtahirkan lewat revolusi kerakyatan yang terjadi dikawasan peradaban Eropa Barat, khususnya Amerika dan Prancis. Konsep ini merupakan paradigma baru bahwa negara dan alat kekuasaanya tak dibenaarkan apabila bertindak atas dasar kekuasaanya belaka, alih-alih, haruslah ditumpukan pada dasar kkebenaran hukum yang telah dipositifkan, ialah undang-undang, yang pada gilirannya bertegak  diatas kebenaran “hukum” yang telah disepakati dan dibentuk bersama dalam wujud undang-undang, khususnya yang paling dasar, ialah Undang Undang Dasar.
Keberadaan system hukum Anglo Saxon yang disebut sebagai Common Law Sistem, adalah merupakan salah satu perangkat terpenting dalam upaya mendorong pemerintahan yang demokratis, sekaligus menghindari totalitarisme. Dengan konsep yang ada, maka pemerintahan yang diharapkan adalah pemerintahan yang didasarkan pada kepentingan rakyat.
Subtansi socialist legality berbeda dengan konsep negara hukum rechsstaat maupun rule of law. Dalam negara hukum socialist legality, hukum ditempatkan dibawah sosialisme. Hukum adalah ala t untuk mencapai sosialisme. Hak perseorangan dapat disalurkan kepada prinsip-prinsip sosialisme, meskipun hak tersebut patut mendapat perlindungan. Socialist Law adalah nama resmi untuk sistem hukum negara-negara komunis. Kata sosialis menandakan filosofi dan ideology bedasarkan yang pada umumnya mengacu ke pemikiran “Marxist-Leninist”.
Pemikiran Soepomo menurut banyak pihak memengaruhi perumusan UUD 1945, dengan apa yang disebutnya sebagai ide negara ‘integralistik’ atau paham negara ‘kekeluargaan’. Soepomo berpandangan bahwa prinsip persatuan antara pimpinan dan rakyat dan prinsip persatuan dalam negara seluruhnya, cocok dengan pikir ketimuran. Dikatakannya, hal itu tidak lain merupakan ciptaan kebudayaan Indonesia sendiri. Soepomo menolak perspektif individualis Eropa Barat karena menghasilkan imprealisme dan system eksploitasi, perspektif kelas pada kediktatoran proletariat juga dibuang meskipun sesuai dengan kondisi khas di Uni Soviet, perspektif ini bertentangan dengan sifat asli masyarakat Indonesia.
Para pendiri negara telah memilih suatu paradigma bernegara yang tidak hanya mengacu pada tradisi hukum barat, melainkan juga berakarar pada tradisi asli Bangsa Indonesia. Paradigma bernegara itu dirumuskan dengan memadukan secara paripurna lima prinsip bernegara, yakni Ketuhanan, kemanusiaan, kebangsaan, kerakyataan, dan keadilan social. Kedalam suatu konsep Pancasila. Kelima prinsip Pancasila itu mengandung nilai universal, tetapi juga memiliki basis partikularitas pada tradisi Bangsa Indonesia. Dimensi universalitas dan partikularitas itu menyebabkan adanya ketegangan konseptual dalam Pancaila yang menunjukkan bahwa pendiri Negara Indonesia hendak mendirikan negara berciri modern, tetapi berbasis pada tradisi Bangsa Indonesia. Demikan pula halnya, para pendiri negara mengadopsi konsep negara hukum dari konsep Eropa Kontinental, tetapi berupaya untuk member muatan subtantif yang berbasis pada tradisi Bangsa Indonesia sehingga pada akhirnya dapat dihasilkan suatu konsep negara hukum Indonesia.
Negara hukum postmodern adalah merupakan negara hukum yang memilik kreatifitas menempatkan warga negara bukan sebagai penjaga malam sebagaimana dalam aliran hukum klasik. Warga negara tidak dianggap sebagai penghuni negara yang diatur dengan pasal-pasal, tetapi hukum bekerja untuk memanipulasikesadaran individu sehingga menjadi kesadaran kolektif. Bahwa keteraturan sosial dalam suatu komunitas, tidak bisa diukur dengan pasal-pasal sebagai mana positivisme, tetapi keteraturan social justru lahir ketika individu yang menjadi kolektif mampu berposisi sebagai warga negara, bukan sebagai individu dan massa.
Istilah negara hukum pascakolonial adalah untuk menemukan suatu kajian baru bagi negara yang pernah mengalami penjajahan. Penjajah atau kolonialis meninggalkan tanah jajahannya, tidak pergi begitu saja dan tanpa jejak. Dengan, demikian, studi pasca colonial adalah upaya untuk melihat keterkaitan antara masa lalu dengan masa kini. Cara-cara, ide, dan pengetahuan masa lalu yang hadir dan bersenggama dengan masa kini, masa dimana kolonialisme sudah tidak ada dan menyeruak lagi, namun sisa-sisa dari hantu kolonialisme itu masih hidup dalam pikiran bangsa yang terjajah.
Niccolo Machiavelli melihat negara berada dalam dua kutub, yakni kekuasaan dan anarki. Anarki adalah tindakan melawan hukum atau aturan. Oleh karena itu, tugas seorang pemegang kekuasaan adalah mempertahankan dan memperluas wilayah kekuasaannya. Oleh sebab itu, seorang penguasa diperkenankan berbuat apa saja selama untuk melanggengkan kekuasaannya. Menurut Machiavelli, politik dan moral adalah dua bidang yang tidak memiliki hubungan sama sekali. Yang diperhitungkan hanyalah kesuksesan, sehingga tidak ada perhatian pada moral didalam urusan politik. Baginya hanya satu kaidah etika politik yang baik adalah apa saja yang memperkuat kekuasaan raja.
Menurut  Thomas Hobbes, individu menginginkan terbenuknya sebuah negara atau lebih tepatnya sebuah pemerintahan adalah disebabkan kebutuhan mereka akan perlindungan-protection. Mereka menginginkan keselamatan diri dan keluarga mereka dari situasi yang tidak “tenang” karena konflik dan “ pembunuhan” yang mematikan diantara mereka. Akibatnya, jika mereka ingin selamat, maka yang harus dilakukan adalah menyerahkan seluruh hak mereka kepada penguasa tersebut. Hobbes ingin mengingatkan bahwa negara dibentuk atas kerelaan individu-individu untuk meletakkan seluruh hak mereka “tanpa sisa”.
Pandangan John Locke tentang negara terdapat didalam bukunya yang berjudul “ Two Treaties of Civil Government”. Ia menjelaskan pandangannya dengan menganalisis tahap-tahap perkembangan masyarakat. Locke membagi perkembangan masyarakat menjadi tiga yaitu, keadaan alamiah, keadaan perang, dan negara.
Menurut Jean-Jacques Rousseau, dibawaah system absolutisme, masyarakat tidak akan bebas, dan dalam demokrasi parlementer orang-orang hanya akan bebas di saat pemilu, hanya sekali setiap empat atau lima tahun. Menurut Rousseau, tujuan legislasi seharusnya bukan membatasi kebebasan individu, melainkan justru memperbesar kebebasan itu. Karena itulah kedaulatan harus ada ditangan rakyat, dan harus ada di tangan mereka selamanya.
Menurut Robert Morison Maclver, negara “mengatur” hubungan-hubungan lahir yang penting daripada manusia di dalam masyarakat. Negara menyokong dan mempergunakan hidup kemasyarakatan, memberikan “pembatasan-pembatasan” atau “keleluasaan-kelekuasaan” padanya, memenuhi kebutuhan atau sebaliknya, bahkan menghancurkan hidup kemasyarakatan itu yang kekuasaan untuk “mengendalikan-nya” dan “menguasainya” ada pada negara.
   Hans Kelsen mengatakan, “ hubungan antara hukum dan negara dipandang sama seperti hubungan antara hukum dan individu. Hukum walaupun diciptakan oleh negara dianggap mengatur perbuatan negara yang dipahami layaknya seorang manusia, seperti halnya hukum mengatur perbuatan manusia”. Kelsen membagi tori negara kedalam dua konsepsi, yakni negara sebagai organism dan negara sebagai dominasi.
Jurgen Habermas hanya ingin menegaskan bahwa tumpang tindih kepentingan dalam sebuah komunitas social harus diatur oleh sebuah aturan perangkat normatif yang menjadi landasan tatanan sosial, tatanan atau sebuah komunitas beradab akan diatur oleh aturan normatif, yang tentu saja dalam konteks ini adalah negara. Negara adalah merupakan komunitas yang membutuhkan keteraturan sosial, sehingga perangkat untuk menegakkan keteraturan social itu adalah hukum. Disinilah hukum negara berfungsi, sebagai aparatus normatif. Negara dibentuk untuk menegakkan keteraturan sosial, sehingga tercipta masyarakat beradab.
Jimly asshidiqie mengemukakan bahwa, “ada dua belas prinsip pokok negara hukum (rechtsstaat) yang berlaku di zaman sekarang. Kedua belas prinsip pokok itu merupakan pilar-pilar utama yang menyangga berdiri tegaknya suatu negara hukum modern. Kedua belas pilar itu yakni supremasi hukum, persamaan dalam hukum, asas legalitas, pembatasan kekuasaan, organ-organ eksekutif independen peradilan bebas dan tidak memihak, peradilan tata usaha negara, peradilan tata negara, perlindungan hak asasi manusia, bersifat demokratis, berfungsi sebagai sarana mewujudkan tujuan  bernegara, dan transparansi dan control sosial.